Senin, 08 Oktober 2012

WILAYAH PERAIRAN SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN NKRI: KONTRAK PERJANJIAN PERBATASAN HINDIA BELANDA PADA MASA KOLONIAL 1816-1942




WILAYAH PERAIRAN SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN NKRI:
KONTRAK PERJANJIAN PERBATASAN HINDIA BELANDA PADA MASA
KOLONIAL 1816-1942


                                                                                         Oleh: Dharwis Widya Utama Yacob, S.S

        Perairan Indonesia merupakan 75 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia. Perairan Indonesia
juga merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang harus dijaga.
Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta konflik seputar wilayah Ambalat merupakan salah
satu bentuk betapa rentannya wilayah NKRI dari gesekan negara tetangga. Batas-batas
kedaulatan NKRI harus dijaga agar tidak diklaim negara-negara tetangga. Di sinilah peran arsip
sangat penting untuk menghindari klaim-klaim dari negara tetangga. Khazanah arsip yang
tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dapat dijadikan bukti hukum jika terjadi
sengketa terutama sengketa menyangkut wilayah perairan NKRI.
 
         Jauh sebelum terbentuknya wilayah NKRI sekarang ini, tersebutlah nama Hindia-Belanda
(Nederlands-Indie). Hindia-Belanda ini merupakan cikal bakal NKRI nantinya. Masa kolonial
Hindia-Belanda tentunya diperintah langsung oleh Pemerintah Belanda. Sebelum masa kolonial,
Hindia-Belanda diatur oleh Kongsi dagang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Setelah VOC mengalami kebangkrutan tahun 1799, Pemerintah Belanda mengambil alih
kekuasaan atas Hindia Belanda.

         Dalam perjalanannya, Pemerintah Belanda menguasai wilayah jajahan melalui kontrak-kontrak perjanjian. Kontrak-kontrak perjanjian ini memberikan kejelasan status perbatasan
Pemerintah Belanda terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya di Hindia Belanda. Kontrak
perjanjian tersebut dilakukan baik dengan raja-raja lokal, Spanyol, Portugis, dan Inggris.
Kontrak-kontrak perjanjian tersebut juga meliputi penguasaan wilayah air, darat, dan udara.
Wilayah perairanlah yang sangat penting pada masa kolonial karena struktur wilayah Hindia
Belanda berbentuk kepulauan.

        Wilayah perbatasan merupakan wilayah rawan konflik. Konflik yang terjadi tentunya seputar
konflik antarnegara. Setiap negara tentunya berusaha mempertahankan wilayahnya jika diusik
oleh negara lain. NKRI yang terdiri berpuluh-puluh ribu pulau dan wilayah perbatasan yang
banyak tentunya harus bersikap demikian. Walaupun untuk mengatur wilayah perbatasan
tersebut, Pemerintah Indonesia memerlukan biaya yang besar.

       Untuk menekan biaya tersebut diperlukan strategi-strategi khusus. Strategi-strategi khusus itu
harus diawali dengan penelusuran arsip mengenai wilayah perbatasan. Hal tersebut sangat
penting karena dengan adanya arsip, bukti hukum menjadi kuat. Jika suatu ketika terjadi konflik,
Pemerintah Indonesia telah memiliki satu bukti kuat walaupun itu belum cukup. Wilayah
perairan dalam konteks perbatasan juga sangat penting. Faktor ekonomi menyebabkan wilayah
perairan harus perlu terus menerus disiagakan.

        Untuk perbatasan wilayah perairan pada masa kolonial Hindia-Belanda telah diatur pada
Staatblad Nomor 442 tahun 1939 tentang Terrioriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie atau
Undang-undang tentang Laut Teritorial dan Lingkaran Maritim. Dalam Staatblaad ini ditentukan
lebar laut teritorial Indonesia atau Hindia Belanda selebar 3 mil.

        Pada masa kolonial, wilayah perairan yang sangat penting adalah wilayah perairan di
Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Laut Andaman, Laut Sawu, Laut Cina Selatan, dan Selat
Malaka. Wilayah perairan tersebut sangat penting baik secara ekonomi dan politik antara HindiaBelanda dan daerah-daerah tetangga.

        Samudera Pasifik sebagai samudera yang sangat strategis karena menghubungkan benua Asia
dan benua Amerika. Wilayah yang berhadapan dengan Samudera Pasifik adalah Papua. Papua
yang pada masa kolonial bernama Nieuwe Guinea telah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda
pada 1899. Hal ini dapat dilihat dari arsip Ternate Nomor 360 (2) yang menyebutkan bahwa Raja
Ternate yang pada masa itu menguasai Nieuwe Guinea mengakui pengibaran bendera Belanda.

        Samudera Hindia atau Samudera Indonesia juga merupakan samudera penting pada masa
Hindia-Belanda terutama digunakan sebagai jalur pedagang-pedagang dari India. Pemerintah
Belanda menangkap bahwa perlu pula dilakukan kontrak atau perjanjian wilayah dengan daerah-daerah yang berada di sekitar Samudera Hindia. Salah satunya tercantum dalam Besluit 12
Januari 1878 No. 2 yang menyebutkan bahwa Residen Bengkulu harus membayar sebesar 1000
gulden per bulan kepada Pemerintah Belanda.

        Laut Cina Selatan merupakan laut menghubungkan beberapa tempat yang strategis untuk
kepentingan ekonomi. Dari China sampai Hindia Belanda. Posisinya sangat penting terutama
untuk perdagangan timah dan teh. Hal ini dapat dilihat dari arsip Riouw no 73/10 (5) pada 20 Juli
1846. Isi arsip ini berisi bahwa Raja Muda Jaffar mengakui kekuasaan Belanda terhadap wilayah
antara Selat Riau, Selat Timian, Kepulauan Karimun, Selat Singapura, Kepulauan Bungguran
(Natuna), dan Kepulauan Anambas yang berada di daerah Laut Cina Selatan.

         Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina menjadi daerah strategis pula. Pulau Miangas
merupakan pulau terdepan dengan Filipina. Banyak pro dan kontra mengenai pemberitaan pulau
ini. Untuk memperkuat posisi bahwa Pulau Miangas adalah milik NKRI atau dahulunya HindiaBelanda dapat dibuktikan dalam Staatblads van Nederlandsch Indie tahun 1932 no 571.
Staatblad ini telah menunjukkan bahwa Pulau Miangas berada di kekuasaan pemerintah Belanda
yang menguasai Hindia-Belanda pada saat itu.

         Laut Andaman yang berada di dekat daerah Aceh adalah salah satu wilayah teramai pada
zaman Hindia Belanda. Bahkan pelabuhan terbesar pada zaman Hindia Belanda yaitu Sabang
berbatasan dengan Laut Andaman. Pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dengan Raja
Aceh untuk melegitimasi kekuasaannya terutama di wilayah Laut Andaman. Arsip yang
berkaitan dengan hal tersebut yaitu Besluit 18 September 1899 No. 25 mengenai perjanjian
antara Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Gouverneur van Sumatra Westkust
(Gubernur Pantai Barat Sumatera) dengan Raja Aceh dan sekitarnya. Isi arsip ini mengenai
bentuk pembayaran pajak yang harus diserahkan Raja Aceh dan sekitarnya kepada Pemerintah
Hindia Belanda. Arsip ini juga memberitahukan wilayah kekuasaan Hindia Belanda di Aceh dan
sekitarnya termasuk pulau-pulau sekitarnya juga Pulau Rondo yang merupakan pulau terdepan di
wilayah Laut Andaman yang berbatasan langsung dengan India.

         Laut Sawu terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan Laut Indonesia yang
berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste. Pemerintah Belanda juga telah
mengincar daerah ini sebagai bagian dari wilayahnya. Hal ini tersebut juga tercantum dalam
Besluit 7 Desember 1877 No. 7. Di dalam arsip ini menerangkan bahwa Raja Alor mengakui
kekuasaan Pemerintah Belanda termasuk pulau-pulau yang terletak di Laut Sawu.

         Selat Malaka yang merupakan selat teramai di wilayah Asia Tenggara, tak luput dari incaran
Pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda melakukan kontrak dengan Riau dan Lingga
yang menyatakan bahwa Riau dan Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda. Hal ini dapat
dijelaskan dalam khazanah Arsip Republik Indonesia dalam Arsip Riouw 73 Nomor 10.1.
Khazanah arsip ini sangat penting karena berkenaan dengan wilayah NKRI pada masa sekarang
yang merupakan wilayah yang dijajah oleh Belanda sebelumnya.

         Dari arsip-arsip yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya arsip
membuat legitimasi wilayah perairan yang menjadi perbatasan NKRI menjadi kuat. Jika nantinya
terdapat konflik-konflik antarnegara mengenai perbatasan, dapat diredam karena ketersediaan
arsip mengenai perbatasan yang lengkap. Pada akhirnya, kedaulatan NKRI tetap terjaga.

(Majalah ARSIP Edisi 56)
 © Subbagian Publikasi dan Dokumentasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar